Menuju
Daerah 3T
26 Agustus 2015
Hari ini petualangan baru dimulai, tepat
pukul 09.00 WITA aku ditelpon oleh kepala sekolah, dan lagi,,,,,aku kurang
beruntung dari teman-teman lain. Hanya aku yang tidak dijemput, aku disuruh
berangkat sendiri dan dititip melalui bemo. Yuupps “bemo” adalah alat
transportasi ke daerah 3T ku. Bukan bemo beroda 3 ya....bemo sejenis angkot.
Perjalanan ±3 jam. A3alnya perjalanan lancar-lancar dan mulus aja. Tetapi
setelah melewati kota kecamatan yakni Pagal jalanan mulai memburuk. Makin lama
makin hancur saja aspalnya bahkan ada yang tidak ada aspal lagi. Takut dan
cemas dalam bemo, badan terhempas-hempas dalam bemo, bemonya rasa akan terbalik
saja karena jalan yang rusak, berbatu, dan berlobang-lobang. Rasanya agak kapok
kalau mau ke kota lagi, nyawa taruhannya L
Diperjalanan sempat putus sinyal, aku
mulai khawatir, begitu juga dengan my boy di seberang sana. Dia begitu khawatir
dan cemas menunggu kabar dariku. Tetapi sesampainya di rumah kepsek
Alhamdulillah keberuntungan menghampiriku, sinyal telkomsel full di rumah
kepsek tempat ku tinggal. Walaupun buat
internet susah yang penting bisa telpon dan sms sudah lebih dari cukup. Lagi
dan lagi,,,imanku kembali di uji, ternyata rumah tempatku tinggal adalah rumah
orang beragama katolik, mereka penganut katolik yang taat. Setiap ada acara
keagamaan Romo(Pastur) & Fraternya selalu istirahat di rumah ini. Dan yang
paling parahnya, dalam 1 kampung ini hanya aku sendiri yang muslim. What a pity
I’m??? Lsesaat rasanya mau nangis karena takut,
tapi harus bagaimana lagi. Setelah telpon orang orang terdekat akhirnya lumayan
tenang dan rasa takut mulai berkurang.
Satu persatu masalah clear; Sinyal OK, tempat
tinggal aman tapi listirk dan air tak OK. No listrik no air......OH NOL. Listrik pake generator yang hidupnya dari jam
7-9 malam itu pun tidak setiap hari( gak masalah yang penting ada listrik dkit
buat ngecas hp). Yang membuat sedikit lega, kebetulan ada 1 kamar yang tidak
dihuni karena 2 anak perempuan di rumah ini sedang sekolah dan kuliah di kota,
jadi untuk tempat tidur bebas sendiri. Masalah besar lainnya adalah air. Sumber
air sangat jauh dari sini ±2 km. Untuk ke WC aja harus ambil pake jerigen ke
sana apalagi mandi dan nyuci. Mama( kepsek) bilang sungainya jauh, ibu guru
tidak usah bawa jerigen, pergi mandi saja,begitu katanya. Sore harinya datang
seorang anak perempuan kelas 3 SMP bernama Jeni, dialah yang di amanahkan mama
buat temani ku pergi mandi setiap hari, pergi “timba air” (sebutan bagi orang
sini kalau mau ke air) setelah Ashar dan pulangnya sangat lama.
waktu pergi menurun
waktu pulang mendaki membawa beban berat di kepala
sumber air di penempatanku
antri mandi dan isi jerigen
Pincuran airnya
hanya 2 dan debit nya kira kira segede jempol. Antri 1 kampung(bayangin aja
lamanya menunggu antrian). Pergi dengan enteng melangkahkan kaki tanpa beban,
tetapi ketika pulang nafas putus putus rasanya karena mendaki dan sangat jauh
ditambah lagi beban berat bagi yang mengangkut air. Kasian melihat mereka
angkut air, anak-anak, remaja maupun tua bawa jerigen yang banyak di kepala
mereka. Tapi apa boleh buat akupun gak bisa bantu. Jam 5 lewat itu sudah paling
cepat sampai di rumah. Karena sudah datang sejauh ini, harus kuat iman dan
fisik. Setiap hari beginilah aktivitas timba air yang banyak menghabiskan
waktu. Nilai positif yang ada di sini yakni penduduknya sangat ramah, mereka
sangat menghargai guru, setiap aku berjalan dan bertemu warga mereka selalu
senyum dan menyapa “sore bu guru......siang bu guru” begitulah selalu(ada
kebanggaan tersendiri saat orang orang sangat menghargai kita)J. Sebelum
terbiasa semua terasa sulit, tapi lambat laun semua menjadi mudah. Aku sudah
terbiasa jalan jauh untuk mandi, aku mampu beradaptasi dengan cepat.
0 Komentar